Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

14 Kelemahan UMKM yang Luput dari Perhatian

Pena Dosen kali ini mengulas 14 Kelemahan UMKM yang Luput dari Perhatian. Di era revolusi industri 4.0, para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tanah air menghadapi beragam tantangan. Simarmata (2021) dalam risetnya mengemukakan tiga tantangan yang dihadapi UMKM. Tantangan pertama adalah persaingan. Saat ini persaingan di kalangan UMKM sangat ketat dan cederung meningkat. Salah satu penyebabnya adalah pesatnya pertumbuhan UMKM. Penyebab lainnya adalah adanya impor barang sejenis dengan harga yang relatif terjangkau.  Postingan kali ini membahas seputar 14 kelemahan UMKM yang kerap luput dari perhatian.

14 Kelemahan UMKM yang Luput dari Perhatian
Tantangan kedua adalah pesatnya kemajuan teknologi terutama teknologi informasi. Pesatnya kemajuan teknologi ini berakibat pada perubahan pada persepsi masyarakat atau konsumen terhadap suatu produk. Dengan teknologi informasi, konsumen memiliki peluang besar untuk membandingkan satu produk dengan produk lain. Akibatnya, siklus hidup suatu produk bisa lebih singkat.  

Tantangan ketiga adalah semakin tingginya tuntutan konsumen terhadap produk dan pelayanan yang bermutu. Dan dewasa ini standar mutu adalah kepuasan konsumen. Dengan kata lain, pelanggan adalah orientasi dari pelayanan mutu perusahaan. Bila pelanggan tidak merasa puas dengan produk yang ditawarkan maka dapat dikatakan bahwa produk tersebut kurang bermutu.  

Ketiga tantangan tersebut memerlukan kemampuan pelaku UMKM beradaptasi. Dalam merespon tantangan tersebut, UMKM harus melakukan evaluasi diri terhadap kelemahan-kelemahan yang ada. Setidaknya, ada 14 titik lemah UMKM secara umum (Kurniati, 2020), yaitu: 

Pertama, permodalan yang sangat terbatas. Permodalan memang satu hambatan kinerja UMKM. Para pelaku UMKM sebagian besar tidak memiliki anggunan yang biasanya diminta oleh Lembaga keuangan/ perbankan manakala mereka mengajukan kredit modal usaha. Terlebih bagi usaha mikro yang notabene adalah usaha perorangan dan bersifat informal. 

Kedua, masih kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas. Secara umum, praktik manajemen sumberdaya manusia secara professional tidak diterapkan usaha kecil apalagi mikro. Rekrutmen sumberdaya manusia, misalnya hanya sekedar memberikan pekerjaan pada anggota keluarga atau lingkungan sekitar tanpa melihat komptensi yang dimiliki. Selain itu, mereka menganggap manajemen sumberdaya manusia hanya cocok diterapkan di perusahaan besar. 

Ketiga, kurangnya channel untuk mendistribusikan barang.  Dalam maketing mix, ketepatan menentukan jalur distribusi agar produk sampai ke tangan konsumen. Sebagian besar UMKM lebih senang bertransaksi langsung dengan konsumen tanpa mediasi pihak lain. Memperluas jalur distribusi menjadi penting dalam upaya memperluas target/ pangsa pasar. 

Keempat,  kepemilikan badan hukum yang jelas  dan perizinan. Pelaku UMKM enggan untuk mendaftarkan usahanya untuk memperoleh aspek legal/ badan hukum dengan alasan birokrasi berbelit dan biaya proses yang tinggi. Alasan lain kekhawatiran terkena pajak usaha sebagai badan hukum.  

Kelima, kesulitan dalam menghitung omset penjualan   karena pembukuan yang masih manual. Manajemen produksi dan keuangan menjadi kelemahan tersendiri UMKM. Inventory control dilakukan secara konvensional sehingga muncul masalah dalam supply chain management. Ktidakmampuan menjaga suplai bahan baku, misalnya lebih dikarenakan keengganan untuk mengikat kontrak jangka Panjang dengan pihak pemasok bahan baku. 

Keenam, tidak mengantisipasi perkembangan teknologi/ strategi digital melalui pemasaran online.  Proses bisnis yang dilakukan sebagian besar UMKM bersifat konvensional. Tidak memanfaatkan sentuhan teknologi dalam mengungkit kinerja usaha. Internet of Things (IoT), misalnya membuka peluang pemasaran secara online. Kemunculan E-commerce dan marketplace online tidak dijadikan sebagai potensi untuk meningkatkan omset penjualan. Para pelaku UMKM dapat memanfaatkan marketplace online gratis di lapaksenggol.com 

Ketujuh,  masih belum maksimalnya kemampuan UMKM dalam merespon peluang keuntungan yang kompetitif. Rendahnya agilitas pelaku UMKM menyembabkan lambat merespon cepatnya perubahan lingkungan. Latarbelakang pendidikan yang rendah dari pemilik UMKM menjadi kendala tersendiri terkait rendahnya agilitas organisasi UMKM.  

Kedelapan, masih belum maksimal  UMKM dalam  melakukan penelitian dan memonitor pasar, pelanggan dan pesaing dalam menjalankan bisnis hal ini dikarenakan masih adanya anggapan bahwa ide-ide cemerlang kurang didukung oleh pimpinan dan hanya menambah pekerjaan yang baru dan merasa terbebani untuk diimplementasikan dalam perusahaan. 

Kesembilan,  masih kurangnya penilaian kualitas produk dan kualitas pelayanan. Pelaku UMKM kerap abai terkait kualitas produk. Mereka beranggapan menjaga kualitas produk berkorelasi dengan biaya tinggi. Pengusaha UMKM belum mampu melihat peluang bahwa kualitas produk berkaitan dengan meningkatnya kepuasan pelanggan dalam jangka panjang. Bukankah, lebih baik mendapatkan konsumen yang loyal dibandingkan konsumen yang sekali beli produk dan tidak pernah kembali lagi. 

Kesepuluh, UMKM belum maksimal memanfaatkan jejaring kerja untuk membangun hubungan yang baik dengan pelanggan, mitra dan lembaga pemerintah. Jejaring bisnis belum dianggap penting pelaku UMKM. Membina hubungan baik dengan para pengampu kepentingan mampu menjaga keberlangsungan usaha di masa datang.  

Kesebelas, kurangnya kemampuan UMKM dalam berinovasi baik inovasi proses, inovasi produk, inovasi pemasaran dan inovasi manajemen. Pelaku UMKM enggan untuk berinovasi dengan pertimbangan tinggi biaya  untuk melakukan research and development. Tanpa inovasi diberbagai bidang, sulit untuk mewujudkan UMKM naik kelas – sebagaimana harapan pemerintah. 

Keduabelas,  masih kurangnya komitmen dalam implementasi visi dan misi perusahaan. Usaha mikro dan kecil seringkali tidak peduli apakah mereka harus memiliki visi dan misi. Mereka beranggapan bahwa pernyataan visi dan misi hanya untuk usaha skala menengah dan besar dimana struktur organisasinya telah stabil. Padahal sekecil apapun jenis usaha kita, sudah semestinya memiliki visi dan misi sebagai panduan dalam melangkah kedepan.  

Ketigabelas, masih belum maksimal UMKM dalam melakukan perubahan dalam menyesuaikan dengan tantangan perkembangan lingkungan yang dinamis. Sebagian besar UMKM acuh terhadap perubahan lingkungan yang dicirikan volatile, uncertain, complex dan ambiguity – atau sering dikenal dengan VUCA. Rendahnya kemampuan memprediksi perubahan yang akan terjadi dimasa datang, menjadi tantangan tersendiri bagi UMKM di tanah air.  

Keempatbelas, belum maksimalnya UMKM dalam mengelola aset sehingga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Para pelaku UMKM biasanya terjebak pada euphoria ketika keuntungan bisnis meningkat pesat. Perilaku konsumtif sering mendominasi dibandingkan perilaku produktif. Membeli asset yang tidak produktif dan tidak terkait untuk menunjang kinerja usaha. 

Nah adalah tugas para pelaku UMKM menilai kembali ke-14 kelemahan yang seringkali luput dari perhatian. Pada akhirnya, pelaku UMKM seyogianya menghilangkan atau setidaknya meminimalisir kelemahan-kelemahan tersebut. Salam UMKM bangkit! 

Sumber: 

Kurniati, Titi (2020). “Pengaruh Dynamic Capabilities, Knowledge Management dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja UKM: Inovasi Sebagai Variabel Mediasi”.  Disertasi. Universitas Negeri Jakarta 

Simarmata, Joner (2021). “Praktek MSDM dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi dengan  Human Capital dan Kinerja Individu sebagai Variabel Mediasi pada Industri Batik Jambi”. Disertasi. Universitas Jambi.   

Post a Comment for "14 Kelemahan UMKM yang Luput dari Perhatian"